kuliner jogja

kuliner jogja

Jumat, 20 Agustus 2010

Arti Kuliner

Budaya Kupat, Lebaran Ketupat Dan Kuliner

Kupat sama saja dengan Ketupat, hanya persoalan penyebutannya saja yang berbeda, tapi esensinya sama; anyaman janur kuning berisi nasi padat yang dihidangkan dan dijadikan simbol terutama pada saat lebaran Idul Fitri. Bahkan pada tradisi budaya masyarakat tertentu, ada tradisi dan Budaya Lebaran Ketupat di hari ke tujuh Idul Fitri. Kupat sering dibedah dengan Ngaku-Lepat, Mengaku Salah dan oleh karenanya memohon agar kesalahan itu bisa dimaafkan, persis seperti yang menjadi esensi Idul Fitri sebagai terbebas dari dosa.
Ini berbeda dengan Kuliner yang bisa dibedah diotak atik gathuk menjadi Mengaku Paling Bener, merasa paling benar, tidak mau mengakui kesalahan dan tidak mau memaafkan orang lain, tidak mau membuka pintu maaf bagi sesama manusia. Loh… apa di Hari Raya Idul Fitri masih ada (manusia muslim) yang Mengaku Paling Bener, atau setidaknya Mengaku Benar? Sepertinya tidak. Sebab, di hari itu, yang tua dan yang muda yang laki-laki dan yang wanita, semua Mengaku Lepat, Mengaku Salah, Mengakui Kesalahan, disampaikan untuk diberikan pemaafan. Ini keindahan Idul Fitri, bukan?
Sebagai simbol, secara historis ketupat lahir dari sebuah pergulatan kebudayaan pesisiran. Sumber dari Malay Annal (1912) oleh HJ de Graaf menyebutkan, kupat atau ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Fatah pada awal abad ke-15. Bungkus ketupat dipilih dari janur. Mengapa janur? De Graaf menduga-duga secara antropologis bahwa hal itu berfungsi sebagai identitas budaya pesisiran karena pohon kelapa kebanyakan tumbuh di dataran rendah. Selain itu, warna kuning memberi arti khas untuk membedakan dari warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.
Kupat yang kita lihat adalah anyaman janur kuning yang menggambarkan jalinan silaturrahmi yang erat, saling membungkus, dan saling menguatkan. Semacam simbol pentingnya persatuan dan kesatuan. menurut Saya, janur kuning, daun kelapa muda, juga berarti simbol perlunya mempermuda, terus memperbarui jalinan silaturrahmi agar tidak lekas menua dalam pengertian menjadi rapuh dan lemah. Sebab, rapuh dan lemahnya silaturrahmi adalah embrio keterpecahan baik individual maupun kolektif. Dan ini berbahaya bagi kelangsungan hidup kita.
Kita beruntung memiliki perayaan Idul Fitri. Kita juga diuntungkan dengan tradisi dan budaya kupat atau ketupat dengan simbolisasinya. Karena Kupat bisa menjelaskan Hakikat Idul Fitri dengan mengangkat dan mengharagai budaya lokal. Kita tidak harus alergi dengan simbol darimanapun itu asalnya. Sebab, dalam simbol, kita bisa menguak makna tanpa kehilangan esensinya.
Kalau kemudian dalam perjalanannya tradisi dan budaya kupat atau ketupat tergantikan menjadi Kuliner Lontong Opor, Ketupat Sayur, itu menggambarkan perlunya mengabadikan tradisi dan Budaya Kupat sepanjang masa, tidak hanya ketika perayaan Idul Fitri. Budaya Kupat, Mengaku Lepat, Mengakui dan mau Mengakui Kesalahan secara lembah manah, low profile, berarti kesadaran untuk selalu mengakui diri berpotensi untuk bersalah (karena tidak ada manusia yang sempurna) sekaligus membuka diri bagi orang lain untuk memberikan pemaafan.
Tuhan Maha Pemaaf dan Pengampun. Sebagai mahluk-Nya, sudah sewajarnya kita menjadi manusia pemaaf. Ada banyak keindahan dalam tradisi saling memaafkan. Selamat Idul Fitri 1430 H, Mohon Maaf Lahir Batin.
Incoming search terms for the article:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar